Audiensi PT APL Buntu dan Sarat Kejanggalan, DPRD Kota Banjar Didesak Bentuk PANSUS
Jayantara-News.com, Banjar
Audiensi yang digelar untuk menjawab dugaan pelanggaran lingkungan hidup dan perizinan industri PT APL justru berakhir antiklimaks. Alih-alih menghadirkan kejelasan, forum yang mempertemukan manajemen perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat itu dinilai memperlihatkan carut-marut transparansi serta lemahnya pengawasan negara.
Paguyuban Bale Rahayat bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat menilai audiensi tersebut gagal total menjawab persoalan mendasar yang selama ini dikeluhkan warga terdampak. Bahkan, sejumlah pernyataan manajemen PT APL dianggap kontradiktif dan memperkuat dugaan adanya pelanggaran serius.
Audiensi yang dihadiri Direktur Utama PT APL, perwakilan vendor SPM dan MJL, APINDO, DPMPTSP, DLH, Dinas Tenaga Kerja, serta DPRD Komisi I dan II Kota Banjar, dinilai lebih menyerupai forum klarifikasi sepihak ketimbang mekanisme akuntabilitas publik.
Empat Fakta Kritis yang Mengemuka dan Tak Terjawab:
Pertama, inkonsistensi soal penggunaan batu bara.
Di awal audiensi, manajemen PT APL secara tegas menyangkal penggunaan batu bara dalam proses produksi. Namun pernyataan itu runtuh di penghujung forum ketika mereka akhirnya mengakui adanya pemakaian batu bara. Sikap berubah-ubah ini dinilai sebagai bentuk ketidakjujuran publik dan minimnya transparansi perusahaan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Kedua, dasar izin penggunaan batu bara tak pernah jelas.
Paguyuban Bale Rahayat dan WALHI menegaskan bahwa batu bara memang bukan barang terlarang. Namun dalam konteks industri, penggunaannya wajib memiliki izin lingkungan yang sah dan spesifik. Hingga audiensi ditutup, tidak satu pun pejabat atau pihak perusahaan mampu menunjukkan dasar hukum yang tegas terkait izin penggunaan batu bara oleh PT APL.
Ketiga, operasi vendor dengan izin lingkungan ‘menumpang’.
PT APL mengklaim bahwa lokasi pabrik disewakan kepada vendor SPM dan MJL, dengan dokumen UKL-UPL “menginduk” pada PT APL. Namun fakta di lapangan menunjukkan SPM dan MJL menjalankan proses produksi secara mandiri. Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat terjadinya penghindaran tanggung jawab lingkungan oleh masing-masing badan usaha.
Keempat, NIB dan KBLI berbeda, tetapi UKL-UPL disatukan.
SPM dan MJL memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang berbeda, yang secara hukum menandakan entitas usaha yang berdiri sendiri. Karena itu, penyatuan kewajiban UKL-UPL di bawah PT APL dinilai tidak logis dan berpotensi melanggar regulasi lingkungan hidup.
Atas berbagai kejanggalan tersebut, Paguyuban Bale Rahayat dan WALHI Jawa Barat secara resmi mendesak DPRD Kota Banjar untuk segera membentuk Panitia Khusus (PANSUS) PT APL.
PANSUS dinilai mendesak untuk: Membuka secara transparan keabsahan seluruh perizinan usaha dan lingkungan PT APL beserta vendor-vendornya. Mengevaluasi pengelolaan lingkungan hidup, termasuk penggunaan batu bara dan dampaknya. Menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tenaga kerja.
“Bukan Anti Investasi, Tapi Negara Tak Boleh Absen!”
“Kami tidak anti industri dan investasi. Tapi investasi wajib patuh pada hukum, transparan, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan serta masyarakat,” tegas pernyataan bersama Paguyuban Bale Rahayat dan WALHI Jawa Barat, Jumat 19 Desember 2025, melalui rilis resminya kepada Jayantara-News.com.
Mereka menilai ketika pemerintah daerah gagal memberikan jawaban yang tegas dan komprehensif, DPRD memiliki kewajiban politik dan moral untuk mengambil alih fungsi pengawasan. “Jika negara terus absen dari keresahan warga, maka DPRD harus hadir,” sambung Asep Nurdin.
Masyarakat menyatakan komitmennya untuk mengawal kasus ini secara terbuka. Langkah lanjutan, termasuk audiensi ulang dan upaya konstitusional lainnya, dipastikan akan ditempuh apabila ketidakjelasan dan dugaan pelanggaran ini terus dibiarkan. (Nana JN)
